Friday, October 26, 2018

Cerita Sex Terbaru Ngentot Lubang Sempit Milik Anak RT


Cerita Sex Terbaru Ngentot Lubang Sempit Milik Anak RT

Cerita Sex Terbaru Ngentot Lubang Sempit Milik Anak RT – Suatu pagi yang sepi, belum ada siapa-siapa di sini. Tentu saja masih sepi, ini masih pukul empat pagi. Agak jauh dari tempatku berdiri, ada beberapa orang yang masih terlelap hanya beralaskan koran di bawah pagar stasiun. Beberapa meter dari tempat beberapa orang itu tidur, ada beberapa anak kira-kira usia sepuluh sedang merokok. Pemandangan seperti itu sering kudapatkan setiap aku berada di daerah in, tapi itu sudah lama sekali. Tiga tahun lamanya aku tidak berada di daerah ini. Sejak kejadian itu, kejadian yang sudah kubuang jauh ke dalam pikiran yang sedang tidur. Aku memusatkan kembali perhatian pada ponsel setelah tadi teralihkan untuk melihat pemandangan di sekitar stasiun. Aku menanti panggilan teleponku diangkat oleh laki-laki yang adalah kakakku. Aku sudah beberapa kali menelepon tapi tidak juga ada tanggapan darinya. Aku mulai cemas. Seorang perempuan sedang menunggu seorang diri di warung kopi di pagi hari yang masih sepi. Jika aku menjadi khawatir dan takut, sebenarnya hal itu sangat wajar mengingat lokasi tempatku menunggu adalah di seberang stasiun kereta api. Tempat yang tergolong cukup rawan tindak kriminal di daerah ini meski sesungguhnya tiada tempat yang aman di dunia. Aku kembali menelpon mas ganteng kesayanganku itu, masih juga belum ada tanggapan. Brengsek ini orang! batinku. “Kenapa, Mbak? Belum dijemput, ya?” tanya penjaga warung kopi tempatku menumpang duduk. Penjaga warung yang juga pemilik warung ini adalah seorang perempuan usia setengah baya dengan perawakan agak gemuk. Rambutnya digelung acak-acakan, matanya tampak merah, mungkin akibat menahan kantuk. “Iya, Bu. Lama banget, ga diangkat-angkat. Bu, boleh deh, saya pesan..ehm jangan kopi, ah. Teh panas satu gelas, ya,” kataku menjawab pertanyaan Bu Tinah. Namanya kuketahui setelah ia memperkenalkan dirinya sambil membuatkanku teh. Ia juga mengisahkan segelintir cerita hidupnya. Ia mempunyai tiga anak. Dua laki-laki dan satu perempuan, si bungsu. Dua anak laki-lakinya mengadu nasib di kota tetangga, sedangkan si bungsu masih belajar di SMK. Suami Bu Tinah sudah meninggal tujuh tahun lalu. Bu Tinah mulai membuka warung kopi semenjak tidak ada kehadiran suami sebagai penyokong nafkah keluarga. Saat siang hingga malam, Retno, anak bungsu Bu Tinahlah yang menjaga warung. Lalu, Bu Tinah menjaga warung dari malam hingga pagi. Sisa waktu digunakan untuk menutup warung dan beres-beres rumah. Rumahnya tidak jauh dari stasiun. Bu Tinah sempat mengundangku ke rumahnya jika aku ada waktu. Sungguh, seorang ibu yang tegar dan kuat! Kusesap dengan penuh kenikmatan sisa air teh yang ada di gelas. Ingatanku kembali terputar di masa tiga tahun lalu di kota ini. Waktu itu, kilau senja di atas sana mengingatkanku akan kamu, selalu. Setiap sore kala hari tidak hujan, aku selalu duduk menanti di halaman rumah, berharap kamu datang tiba-tiba memberiku kejutan. Waktu tidak terasa terus berlalu dan ternyata sudah cukup lama aku tidak berjumpa denganmu. Aku rindu. Kamu bilang hanya pergi sebentar saja. Aku pikir begitu, tetapi dua bulan menunggu kepulanganmu cukup menyiksaku. Untung saja minggu depan kamu pulang. Aku tak sabar bertemu denganmu, Mas. Semenjak Mas pergi bertugas ke Kalimantan dan tidak ada jadwal apel lagi, aku banyak meluangkan waktu untuk menulis. Biasanya aku menulis cerpen atau puisi. Sejak kecil aku memang hobi menulis, tetapi sekarang lebih intens menulis dibandingkan dulu. Banyak kisah yang aku tulis, kebanyakan tentang percintaan, sesekali tentang keluarga. Ada satu kisah yang paling kusuka. Aku menulis cerita ini di saat hujan membasahi bumi, angin memporak-porandakan kebun belakang rumah, dan seorang laki-laki berniat meninggalkan kekasihnya.



Baca Juga : Aplikasi Hp yang Bisa Melihat Manusia Tanpa Busana Alias Bugil.

Ceritanya tentang perpisahan dan berakhir dengan menyedihkan. Sampai aku merasakan, aku tahu apa kata yang paling sesuai dibanding kata menyedihkan. Mematikan. Tiga tahun aku meninggalkan kota ini hanya untuk menghindari tempat di mana dulu ada suatu kisah cinta dirajut di sini. Aku memutuskan untuk bekerja di Jakarta ketika ada tawaran kontrak kerja sebagai penulis. Beberapa cerpen dan puisi yang pernah kukirimkan ke suatu penerbitan ternyata disambut baik. Sampai kemarin, aku masih betah menjadi penulis yang melulu bercerita tentang kisah tragis dan perpisahan. Aku merasa ada yang salah denganku, ada masalah dalam diriku yang belum selesai hingga aku tidak dapat melangkah untuk menulis cerita tentang kebahagiaan. Aku tahu masalahku bermula di kota ini maka akan kuselesaikan juga di kota ini. Ketika aku memutuskan untuk kembali ke kota ini, aku tahu bahwa aku pasti akan merasakan rasa ini kembali.



Baca Juga : 7 Fakta dan cerita unik tentang Bercinta

Aku tahu rasa rindu pasti akan muncul dan tidak akan memberitahukanku kalau rasa ini akan kembali. Aku tahu kalau rasa ini akan menghancurkan beton penghalang yang sudah kubuat sekokoh bangunan tinggi yang ada di kota. Aku melupakan bahwa jika ada celah sekecil apapun, aliran air kecil saja sudah dapat merusaknya apabila itu terus terjadi dengan waktu yang sangat lama. Aku tahu, aku tahu, aku tahu kalau aku rindu padanya. Tidak. Aku sangat teramat rindu padanya. Aku pulang ke kota ini hanya untuk melihatmu. Aku rindu melihatmu berdiri di di bawah pohon di mana kamu mengambilkan aku buah dari pohon itu. Aku ingin melihat kamu tersenyum di antara reruntuhan bangunan yang pernah kita kunjungi. Aku rindu saat kamu menggodaku dan sesekali menyentuh rambut atau tengkukku. Aku rindu melihatmu menatap marah karena tidak aku ajak bicara di suatu malam. Aku rindu kamu, bahkan ketika kamu diam dan pura-pura tertidur saat perjalanan jauh kita menuju kebebasan sementara itu. Aku rindu padamu. Aku menerima konsekuensinya jika aku hanya akan merasa sakit saat melihatmu nanti. Aku sanggup. Aku bisa. Aku bisa menangis tiada henti melihatmu bersama yang lain di sana. Aku tahu, aku tahu kamu sudah memilih yang lain. Aku tahu kamu sudah memutuskan itu dengan matang. Aku tahu, tapi ternyata aku tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Aku tidak tahu mengapa aku bisa bersedih seperti ini di saat kamu sedang berbahagia. “Mbak, mbak,” panggil Bu Tinah dengan lembut. “Iya, Bu. Ada apa?” tanyaku setelah terbebas dari pikiran yang melayang. “Sepertinya itu orang yang mbak tunggu. Sejak tadi mobilnya bolak-balik saja, seperti sedang mencari orang,” jelas Bu Tinah. Tidak lama kemudian, nada dering ponselku berbunyi. Suara kakak tercinta terdengar dari lubang suara ponsel. “Aku sudah sms kamu tapi nggak dibales. Kamu mana, sih? Aku tunggu di depan pintu stasiun, ya. Cepat, aku lapar,” kata Mas Tar. Baru saja jam 06.30 pagi dan dia sudah kelaparan. Benar-benar Mas Tar si tukang makan. Aku segera membayar satu gelas teh panas dan beberapa gorengan kepada Bu Tinah. “Terima kasih, Bu,” seruku, hendak bergegas menuju pintu stasiun di mana Mas Tar sedang menungguku. “Mbak, sampai jumpa. Semoga saya bisa melihat senyum mbak suatu saat nanti,” kata Bu Tinah yang sedang memandangiku sambil tersenyum hangat. Aku hanya tersenyum dan kemudian berlari menyeberangi jalan yang sepi, menjauhi warung kopi Bu Tinah dan segera mencari Mas Tar. Aku meninggalkan warung kopi Bu Tinah jauh di belakang. Sama seperti cerita yang kukenang tadi, kutinggalkan saja di warung kopi Bu Tinah untuk Bu Tinah bersihkan saat ia menyapu jalan di depan warung, nanti.



No comments:

Post a Comment

Sports

Business

Life & style

Games

Fashion

Technology